B A B
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
MASALAH
Kerukunan merupakan
kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan
yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam
bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat
beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat
ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan
tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan
atas/orang kaya saja.
Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat
memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia.
Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti
dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih
dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga
filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari
agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting.
Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita
sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat
dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika
kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul
paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap
negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif
atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling
pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain
dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh
kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih
mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.
1
B.
MAKSUD DAN TUJUAN
1. Maksud
Maksud
penulis membuat karya tulis ini adalah untuk lebih memahami nasalah yang ada
pada kerukunan umat beragama di Indonesia.
2.
Tujuan
Penulis
mengangkat permasalahan ini supaya dapat mencari solusi untuk mengatasi masalah
kerukunan umat beragama, Serta untuk memenuhi tugas Civic education.
2
BAB II
KERANGAKA TEORI
KERANGAKA TEORI
Ada
beberapa mitos kepemelukan agama yang bias kita jumpai dalam masyarakat, yang
sering membawa pada sikap fanatisme berlebihan terhadap kebenaran agama.
Pertama agama dipandang mempunyai ajaran kebaikan dan kebenaran serta melarang
keburukan dan kepalsuan, ynang jika diikuti, menjadikan seseorang terhindar dari
perilaku – perilaku destruktif. Dalam konteks kerukunan, mitos ini mengandaikan
sikap toleransi antar umat, sebagai perwujudan ajaran agama masing – masing.
Kedua, agama
sering dipandang oleh penganutnya sebagai sesuatu yang “universal” , bisa
diterapkan dimana saja dan kapan saja secara seragam. Oleh beberapa kalangan,
agama diyakini memberikan model dan solusi terbaik dalam kondisi masyarakat
apapun. Oleh karena itu jika agama bersinggungan dengan budaya local, maka akan
dilakukan upaya – upaya pemurnian (purifikasi) dan pembaharuan (reformasi).
Upaya yang disebut pertama agar keaslian agama bisa dipertahankan , sementara
yang kedua agar agama bisa memberikan respon terbaik terhadap budaya tersebut.
Karena alas an ini pula, berbagai fenomena local atau genius local genius
wisdom tidak dipandang sebagai bagian kebenaran agama, meskipun sangant
fungsional dalam menciptakan keharmonisan dan ketertiban social.
Ketiga, agama
dipandang sebagai sesuatu yang sacral
(sacred), yang tidak munkin terkait dengan sesuatu di luar kesucian. Agama
tidak mungkin menjadi penyebab berbagai konflik dan disharmoni masyarakat. Oleh
karena itu harus dicarikan ,alasan lain dalam menganalisa konflik tersebut,
misalnya : alas an ekonomi, politik atau budaya. Agama, sekalipun dalam
perspektif sosiologis (agama dilihat dan dipahami dalam fenomena social
tertentu), tidak boleh dinilai bahwa ia mempunyai andil bagi munculnya konflik.
Padahal
banyak kasus ketika tejadi konflik horizontal anatar sesama kelompok masyarakat
berbeda agama, mulai dari banyuwangi sampai ternate, ach hingga papua, agama
cenderung diabaikan perannya dalam memulai konflik . agama hanya ditempatkan
sebagai dampak dari berbagai persoalan politik, ekonomi dan lainnya. Dengan
kata lain dalam keseluruhan konflik itu, agama tidak dipandang sebagai factor
dominan konflik.
Padahal
dalam banyak peristiwa konflik seperti di situbondo, maumere, ambon, mataram
dan tempat lain. Sepanjang 1998 –2000, fakta menunjukan posisi agama sebagai
factor yang tidak bisa diabaikan dalam memulai konflik dan menjadi factor dominan di alamnya.
Pemahaman yang sudah memitos seperti tersebut di atas segera harus dinetrelisir
untuk mewujudkan tatanan antar umat beragama di Indonesia.
3
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Analisis
Masalah
Berbagai masalah yang muncul dengan kerukunan
umat beragama tidak langsung pada agama itu sendiri melainkan hal – hal yang berkaitan
dengan agama itu sendiri antara lain :
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama
sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi
malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini
muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter)
antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga
kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan.
Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang
berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing
agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain
bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala
dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di
Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa
saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama
bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun
hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut
memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir
menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita
selesaikan
4
Seperti yang sedang terjadi di
negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di
negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi
darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya.
Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak
mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita
seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman
keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis,
yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat
bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan
kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya
agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin
selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim,
menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan
semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam
agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya
sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada
banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama
lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang
bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama
gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan
mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini,
hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau
keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte
dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.
5
B.
Penyelesaian
Masalah
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara
tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan.
Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa
terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai
“sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan
sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah
baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah
sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political
history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi
lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat
boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada
gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di
antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama
lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan
globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan
menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak
pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas
umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas
umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan
meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian
orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara
yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu,
juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar
perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik,
bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan
politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik
sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak
mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature
utama.
6
Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari
pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang
secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga
pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog
antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada
tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut.
Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian
dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap
terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita
tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya
mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada dua hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama,
para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru
dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan,
baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat
dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita
dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para
pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya.
Kita seringkali prihatin melihat
orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran
agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan
bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi
kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka
dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Kedua, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu.
7
Meskipun berkali-kali masjid dan gereja
diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan
mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama
autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni
pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor
politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan
tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika dua hal ini
bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka
setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat
berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih
sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar