PENDAHULUAN
Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh
dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan
salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran
Islam
Telah terjadi suatu kejadian atau
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat
dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh
dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa
itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah
diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar
untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama
yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari:
apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari
peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud
barulah dilakukan qiyas.
PEMBAHASAN
1. Pengertian qiyas
Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua
orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama
dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan
meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan
yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.
Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu
kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara
membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah
ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua
kejadian atau peristiwa itu.
2. Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab
yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar
hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat
tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan
dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak
membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada
kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat
dijadikan dasar.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai
dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a.
Al-Qur'an
1) Allah SWT berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya
dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (n-Nisâ': 59)
Dari ayat di atas dapat diambilah
pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala
sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan
al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri.
Jika tidak ada pendapat ulil amri
boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadits,
yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam
al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan
diantaranya dengan melakukan qiyas.
1
Artinya:
"Dialah
yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada
pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan
merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka
dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan)
dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam
hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka
sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat
(dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." (al-Hasyr: 2)
Pada ayat di atas terdapat perkataan
fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai
orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT
memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri
sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika
orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir
itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di
atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan
cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.
b.
Al-Hadits.
1. Setelah Rasulullah SAW melantik
Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Artinya:
"Bagaimana
(cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz
menjawab:
2
Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku
dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk
dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas
yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah
dan Rasul-Nya."
(HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa
seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika
tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu
diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
2. Rasulullah SAW pernah menggunakan
qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:
Artinya:
"Sesungguhnya
seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata:
sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak
sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban
melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji
untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang
akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas Rasulullah
mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak
perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang
kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah
haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang.
Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib
melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan
hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang
kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan
Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.
c.
Perbuatan sahabat
Para sahabat Nabi SAW banyak
melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya.
Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar
lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain,
karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di
waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau
sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan
beliau sebagai kepala pemerintahan.
3
Khalifah Umar bin Khattab pernah
menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana
seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat
beliau itu ialah:
Artinya:
"kemudian
pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang
tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam
keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya,
kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan
yang paling sesuai dengan kebenaran..."
d. Akal
Tujuan Allah SWT menetapakan syara'
bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan
dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak
diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa
yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada
nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar
nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan
kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan
dengan cara qiyas.
5. Rukun qiyas
Ada empat rukun giyas, yaitu:
- Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
- Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
- Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
- 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu
peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan
hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya
berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini
memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah
ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah
SWT:
4
Artinya:
"Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka)."
(an-Nisâ': 10)
Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama
berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah
hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu
sama-sama haram.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
- Fara', ialah menjual harta anak yatim.
- Hukum ashal, ialah haram.
- 'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.
6. Syarat-syarat qiyas
Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Ashal
dan fara'
Telah diterangkan bahwa ashal dan
fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena
itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash,
sehingga belum ditetapkan hukumnya.
b. Hukum
ashal
Ada beberapa syarat yang diperlukan
bagi hukum ashal, yaitu:
1. Hukum ashal itu hendaklah hukum
syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini
diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran
hukum syara' itu adalah nash.Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
- 'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
- Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.
5
c. 'Illat
'Illat ialah suatu sifat yang ada pada
ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk
mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti
menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada
perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya
hukum menjual harta anak yatim.
Dengan demikian dapat ditetapkan
bahwa sebab itu lebih umum dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua
'illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan
'illat.
1. Syarat-syarat 'illat
Ada empat macam syarat-syarat yang
disepakati ulama, yaitu:
1. Sifat 'illat itu hendaknya nyata,
masih terjangkau oleh akal dan pancaindera.
2. Sifat 'illat itu hendaklah pasti,
tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena
asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'.
3. 'Illat harus berupa sifat yang
sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa
'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya.
4. 'Illat itu tidak hanya terdapat pada
ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu.
2. Pembagian 'Illat
Ditinjau dari segi ketentuan
pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum,
maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a. Munasib mu'tsir
Yaitu persesuaian yang diungkapkan
oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum
(syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah
SWT:
Artinya:
"Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai
syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid.
Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan
dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang
menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai
dan menentukan penetapan hukum.
6
b. Munasib mulaim
Yaitu persesuaian yang diungkapkan
syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak
diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi,
tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah
yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi.
c. Munasib mursal
Ialah munasib yang tidak dinyatakan
dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang
nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan
kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau
tidak membolehkannya.
d. Munasib mulghaa
Yaitu munasib yang tidak diungkapkan
oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan
atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan.
3. Musâlikul 'illat (cara mencari
'illat)
Musâlikul 'illat, ialah cara atau
metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau
kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.
Diantara cara tersebut, ialah:
a. Nash yang menunjukkannya
Dalam hal ini nash sendirilah yang
menerangkan bahwa suatu sifat merupakan 'illat hukum dari suatu peristiwa atau
kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas
berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan
hukum suatu dasar nash.
Petunjuk nash tentang sifat suatu
kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah
(jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).
1.
Dalalah sharahah
Ialah penunjuk lafadh yang terdapat
dalam nash kepada 'illat hukum jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa
lafadh nash itu sendiri menunjukkan 'illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan
yang terdapat daIam nash: supaya
demikian atau sebab demikian
dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath'i dan
kedua ialah dalalah sharahah yang
dhanni.
Daialah sharahah yang qath'i, ialah
apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman
AlIah SWT:
7
Artinya:
"(Mereka
Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan
agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya
rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)
Ayat ini menyatakan bahwa 'illat
diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah
agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum
pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna dan ba'darrasûl
merupakan 'illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.
Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:
Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain
hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak
orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR. an-Nasâ'i)
Pada hadits di atas diterangkan
'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu
karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban
itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).
Daialah sharahah yang dhanni, ialah
apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dengan keras
(dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain.
Seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"Dirikanlah
shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)
Dan firman Allah SWT:
Artinya:
"Maka
disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka"
(an-Nisâ': 160)
Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ' pada perkataan fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula
berarti sesudah, sedang al-bâ'
berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan.
8
Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan
tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan
karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.
2.
Dalalah ima' (isharah)
Ialah petunjuk yang dipahami dari
sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang
menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum
Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada
gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima', diantaranya
ialah:
a. Mengerjakan suatu pekerjaan
karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW
mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun
shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia
telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan.
b. Menyebutkan suatu sifat bersamaan
(sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan
sebagai 'illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad
SAW bersabda:
Artinya: "Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang
berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dari hadits di atas dipahamkan bahwa
sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua
orang berperkara yang merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan
itu.
c. Membedakan dua buah hukum dengan
menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
"Barisan
berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua bagian."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Barisan berjalan kaki dan barisan
berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.
9
d. Membedakan dua hukum dengan
syarat, seperti firman Allah SWT:
Artinya:
"...Dan
jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka berikanlah upahnya..." (ath-Thalak: 6)
Pada ayat ini diterangkan bahwa
hamil menjadi syarat ('illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang
ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat ('illat) pemberian upah
menyusukan anak.
e. Membedakan antara dua hukum dan
batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya:
"...dan
janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci." (al-Baqarah: 222)
Pada ayat ini diterangkan bahwa
kesucian mereka batas ('illat) kebolehan suami mencampuri isteri.
f. Membedakan antara dua hukum
dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:
Artinya: "Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur
dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua
dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu
memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah..."
(al-Baqarah: 237)
Pada ayat ini diterangkan bahwa
memaafkan merupakan pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.
g. Membedakan dua hukum dengan
pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah SWT:
10
Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja." (al-Mâidah: 89)
Pada ayat ini Allah SWT membedakan
hukum dua perbuatan, yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan
perbuatan berupa sumpah yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan 'illat
untuk penetapan hukum.
b. Ijma' yang menunjukkannya
Maksudnya, ialah 'illat itu ditetapkan dengan ijma', belum
baligh (masih kecil) menjadikan 'illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang
belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.
c. Dengan penelitian
Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:
1.
Munasabah
Munasabah ialah persesuaian antara
sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian
tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal. Agar maksud dan tujuan itu
tercapai maka syari'at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu:
Tingkat pertama lebih utama dari
tingkat kedua, tingkat kedua lebih utama dari tingkat ketiga.
a.
Tingkat dharuri (yang
harus ada)
Tingkat dharuri adalah hal-hal yang
harus ada, tidak boleh tidak ada dalam usaha menegakkan agama Islam dan
kepentingan umum. Apabila hal itu tidak ada tentulah akan rusak dan binasa
dunia ini.
Tingkat dharuri ini mempunyai pula
lima tingkat, tingkat pertama lebih utama, kemudian baru tingkat kedua, setelah
itu tingkat ketiga, setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila
tingkat pertama berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan tingkat
pertama, demikianlah seterusnya sampai tingkat kelima.
Kelima tingkat itu, ialah:
·
Memelihara
agama. Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar
menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu,
puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya;
·
Memelihara
jiwa, untuk ini dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyari'atkan
hukum qishash dan sebagainya.
·
Memelihara
akal, untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak
akal;
11
·
Memelihara
keturunan, untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi
pelakunya; dan
·
Memelihara
harta, untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat
bagi perampok dan sebagainya.
b.
Tingkat haji (yang
sangat diperlukan);
Manusia dalam kehidupannya ada yang
dalam keadaan lapang dan ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama
dalam menghadapi kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan
Allah SWT kepada mereka. Bagi orang-orang yang dalam keadaan kesempitan dan
kesukaran Allah SWT selalu memberikan kelapangan dan kemudahan bagi mereka.
Seandainya kemudahan dan keringanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan
terasa sulit dan sengsara. Haji terdapat pada:
·
Ibadat,
seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau
musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau
musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya;
·
Mu'amalat,
seperti boleh melakukan salam, ijârah dan sebagainya;
·
Adat,
seperti boleh berburu.
c.
Tingkat tahsini (yang
baik sekali dikerjakan).
Tahsini adalah segala sesuatu yang
baik dikerjakan terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau
tahsini ada, kehidupan manusia akan tinggi nilainya dan terasa indah, tetapi
kalau tahsini tidak ada kehidupan manusia tidak akan rusak. Diantara contoh
taksini ialah:
·
Dalam
ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang
sunnah dan sebagainya;
·
Adat,
seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
·
Mu'amalat,
seperti menghindarkan diri dari menjual najis.
Dalam munasabah diperlukan ketajaman
untuk meneliti mana yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan
mana yang termasuk tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu
maka hukum yang berhubungan dengan dharuri harus lebih diutamakan
menjalankannya jika berlawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti
membunuh jiwa termasuk menghilangkan jiwa diharamkan oleh Allah.
2.
Assabru wa taqsim
As sabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi
atau memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti
kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian,
kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat
dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash
tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang
menerangkan 'illatnya.
Sepakat para ulama bahwa para wali
mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi
tidak ada nash yangmenerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti
sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya.
12
Diantara sifat yang mungkin dijadikan 'illat,
ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat 6 surat
an-Nisâ' tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta
seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu
sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di
bawah perwaliannya.
3.
Tanqîhul manath
Tanqîhul manath, ialah mengumpulkan
sifat-sifat yang ada pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian
dicari yang sama sifatnya.
4.
Tahqiqul manath
Tahqiqul manath, ialah menetapkan
'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan
nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada fara'.
6. Pembagian qiyas
Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu:
a. Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan
fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya
berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat
yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk
dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr,yang
disebut dengan jelas dalam nash.
b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang
hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada
ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua
orangtua berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua
orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)
'Illatnya ialah menyakiti hati kedua
orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah
bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan
"ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum
yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan
pada ashal.
13
c. Qiyas musawi
Ialah qiyas hukum yang ditetapkan
pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual
harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah
sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram
hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:
Artinya:
"Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah
menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram
hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum
yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada
fara'.
2. Qiyas khafi
Ialah qiyas yang 'ilIatnya mungkin
dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan
sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas.
b. Qiyas dalalah
Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut,
tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan
sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum
baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak.
c. Qiyas syibih
Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada
dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya
dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak
orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan
kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak
diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan
diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat
diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar